Kesenian Masamper merupakan grup seni bernyanyi yang memadukan dua unsur utama, yaitu vokal dan sentuhan geraka harus seirama, disertai dengan gerak tari dari si pembawa lagu (pengaha) dalam tradisi Masamper, tidaklah sekadar menyanyi bersama anggota. Bagian tengah lokasi masamper dibiarkan kosong, menjadi tempat bagi mereka yang mendapat giliran memimpin lagu.
Masamper merupakan media pengungkapan jiwa, mengekspresikan jati diri dan secara khusus memiliki nilai yang universal, religius, interaksi sosial, historis, cinta bangsa dan tanah air, pendidikan dan identitas kultural dari masyarakat Tongkaina yang kebanyakan warganya adalah keturunan suku Sangihe Talaud dan Sitaro.
Pada zaman dahulu, sebelum masuknya agama dan , masyarakat suku sudah memiliki tradisi menyanyi. Pada masa itu, masyarakat menganut kepercayaan , sehingga menyanyi yang di gunakan pada saat upacara pemujaan, di adakan untuk dewa. Menyanyi pada saat itu dikenal sebagai ; Sasambo, kakalanto, kakumbaeda, papantung, tatingung, mengonong / mamuna U wera yang dalam modus non diatonis dilantunkan secara berbalas-balasan dengan syair dalam bahas daerah / sasra sasahara / sasalili. Kemudian dengan seiring perkembangan zaman menyanyi ini dikenal dengan sebutan “mebawalase” yang terkait dengan bahas Indonesia “balaas” atau “nyanyi baku balas” yang menjadi ciri khas utama. Karena masuknya Agama Kristen yang di bawah oleh para Zending dari belanda, kegiatan menyanyi kembali mendapat sentuhan dan memberikan warna tersendiri dalam konteks musik diatonik barat, pada akhirnya mebawalase mulai di kenal dengan sebutan Masamper yang diambil dari bahasa “Zangfereeninging /Zangfeer” atau paduan suara atau kegiatan menyanyi secara bersama-sama.